Pandangan bahwa wirausaha dilahirkan dan tidak dapat diciptakan adalah sebuah mitos. Pendidikan dan pelatihan tentang kewirausahaan telah melahirkan banyak wirausaha baru. Kewirausahaan sama seperti ilmu pengetahuan lain yang dapat dipelajari dan diajarkan.
Perguruan tinggi memiliki kontribusi yang besar dalam melahirkan entrepreneur by designed, yaitu wirausaha yang lahir berkat pendidikan kewirausahaan yang diajarkan di bangku kuliah secara sistematis dan terencana.
Bukan entrepreneur by accident, yaitu jebolan perguruan tinggi yang “terpaksa” menjadi wirausaha lantaran nilai di bawah standar untuk diterima menjadi pegawai perusahaan nasional maupun multinasional atau terpaksa keluar (drop out) karena sejumlah alasan.
Sejak tahun 1990, beberapa negara seperti Austria, Brasil, India, Malaysia, Singapura, dan Inggris telah menjalankan program pendidikan kewirausahaan.
Sementara di Indonesia, program ini kembali marak sejak tahun 2007 ketika entrepreneur senior Indonesia, almarhum Dr (HC) Ir. Ciputra melakukan serangkaian inovasi dengan program-program pendidikan dan pelatihan kewirausahaan bagi mahasiswa dan dosen.
Pada 2011, kewirausahaan telah dicanangkan oleh menteri negara Koperasi dan UKM pada waktu itu, Sjarifuddin Hasan, sebagai gerakan nasional. Sejumlah aksi tersebut dilakukan bukan tanpa alasan.
Perguruan tinggi dipandang dapat memainkan peranan besar dalam mengembangkan motivasi dan kemampuan entrepreneurial dari para lulusan dan menjadikan kewirausahaan sebagai salah satu opsi utama selain berkarir sebagai pegawai maupun profesional. Program ini juga mendorong penciptaan perusahaan dengan pertumbuhan tinggi berkat terobosan dari para wirausaha yang lebih terdidik.
Karakteristik Wirausaha dengan Program Pendidikan Kewirausahaan
Karakteristik Perguruan tinggi dengan program pendidikan kewirausahaan telah melahirkan wirausaha. Studi yang dilakukan Pickernell dan kawan-kawan (2010) di Inggris terhadap wirausaha bisnis kecil, menunjukkan bahwa :
1. Kemampuan Pengetahuan Lebih Besar dari Berbagai Sumber
Wirausaha lulusan perguruan tinggi menunjukkan kemampuan lebih besar dalam mengakses pengetahuan dari berbagai sumber seperti pemerintah. Mereka juga memiliki akses yang lebih luas ke universitas dalam memperoleh berbagai saran konsultasi bisnis. Hal ini mengakibatkan wirausaha hasil didikan kampus lebih termotivasi untuk mengelola bisnisnya agar terus tumbuh melalui serangkaian inovasi.
2. Pandangan Cakupan Pasar yang Lebih Luas
Mereka memiliki pandangan yang lebih luas terhadap cakupan pasar yang dituju, sehingga ekspor menjadi bagian utama dari aktivitas bisnis. Wirausaha jebolan perguruan tinggi juga memiliki kecakapan dalam riset pasar sehingga mereka dapat memanfaatkan peluang bisnis tidak berdasarkan pendekatan subjektif (Hegarty dan Jones, 2008).
3. Usia yang Cenderung Muda dalam Implementasi Konsep Kewirausahaan
Intuisi tidak menjadi senjata utama ketika menilai peluang bisnis yang hadir di depan mata. Bidang usaha wirausaha fokus pada bidang jasa spesifik yang berbasis pada pengetahuan dan tidak memandang gender.
Mereka juga berusia lebih muda, mengimplementasikan konsep-konsep kewirausahaan dan telah memperoleh banyak pengalaman dari berbagai perusahaan terkemuka. Mereka menggunakan pengalamannya di sejumlah perusahaan untuk membangun jejaring sosial yang lalu digunakannya sebagai modal ketika menjalankan aktivitas kewirausahaan.
4. “Melek” Teknologi
Hal lain yang membedakan adalah mereka lebih mungkin untuk memanfaatkan web sebagai sarana berbisnis dan memiliki kesadaran yang lebih tinggi mengenai pentingnya perlindungan paten, merek dagang, hak cipta dan hak kepemilikan desain intelektual. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dengan wirausaha yang bukan hasil didikan kampus, dalam hal jumlah karyawan yang dipekerjakan dan lokasi bisnis yang dipilih.
Kondisi Wirausaha Lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia
Secara umum karakter wirausaha lulusan perguruan tinggi di beberapa negara tidak berbeda secara signifikan, yaitu mereka lebih melek teknologi, semangat tinggi untuk berkreasi dan inovasi serta berinisiatif mengaplikasikan konsep manajemen modern.
Hanya saja kurikulum mayoritas sekolah bisnis yang merupakan “pabrik” wirausaha lebih menekankan sisi administrasi praktis seperti teknik pengelolaan keuangan, pemasaran, penjualan, akuntansi dan sebagainya ketimbang membangun karakter wirausaha yang sesungguhnya.
Memang tak ada yang buruk dengan pengajaran hal-hal teknis dalam pengelolaan bisnis. Hal tersebut tetap diperlukan tanpa melupakan aspek soft skill wirausaha. Informasi yang tak utuh mengenai prospek kewirausahaan mengakibatkan profesi wirausaha tidak menjadi opsi utama dari para lulusan, yang mungkin lebih tertarik berkarir sebagai profesional yang digaji. Ketika mereka mencoba untuk memulai usaha, jejaring yang mereka punya tidak memadai.
Ini berarti calon wirausaha wajib membangun jejaring sosial sejak bangku kuliah. Pihak perguruan tinggi mewadahinya dengan membentuk entrepreneurship center. Kehadirannya merupakan inkubator bagi kelahiran wirausaha dan bisnis dari lingkungan perguruan tinggi. Dengan demikian, program pendidikan kewirausahaan yang mencetak wirausaha sama sekali tidak meniadakan eksistensi entrepreneur yang terlahir di luar jalur itu.
Semestinya wirausaha jebolan kampus memberikan kontribusi yang lebih besar bagi negeri ini dengan penciptaan bisnis yang berorientasi pada pertumbuhan, yang nantinya akan membuka lebih banyak lagi lapangan pekerjaan. Penciptaan wirausaha di kampus adalah cikal bakal kelas menengah Indonesia yang lebih berkualitas.
Tertarik menjadi wirausaha muda?
Sumber: https://money.kompas.com/read/2023/04/17/141825726/mengurai-keunggulan-wirausaha-jebolan-kampus